Oleh Sulvia Nur Oktafiani
“Adakah remaja yang tak kenal dengan budaya Melayu?”. Sungguh terdengar aneh jika pertanyaan ini direspon
dengan jawaban “Ada”. Dalam realita kehidupan saat ini, dapat dibuktikan pasti semua
remaja pernah bahkan sering mendengar kata budaya Melayu tersebut, meskipun
tidak banyak dari mereka yang dapat menjelaskan secara implisit makna yang
terkandung dari budaya Melayu itu sendiri.
Fakta sejarah mengatakan bahwa budaya Melayu merupakan
puak kebudayaan pada masa lampau yaitu budaya elok yang katanya tidak diragukan
sebagai etnis dan rumpun bangsa. Melayu dikenal sebagai sebuah identitas kultural
yang biasanya dicirikan kepada orang yang beragama Islam, beradat-istiadat
Melayu, berbahasa Melayu dan menempati kawasan Melayu. Namun tak dapat
dipungkiri, saat ini defenisi Melayu tersebut bersifat reduktif karena tidak
semua orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Melayu jika ia menetap
di kawasan Melayu, menganut agama Islam, dan mempraktekkan adat-istiadat
Melayu. Hal ini memberikan gambaran bahwa Melayu bukanlah sebuah identitas
kebudayaan yang tunggal dan homogen melainkan heterogen karena hakekatnya Melayu
diibaratkan sebagai rumah yang didalamnya dihuni oleh berbagai orang dengan
cara pandang yang berbeda-beda, baik itu yang bersumber dari sistem religi
maupun keyakinan.
Pelaku budaya telah
mengakui bahwa kemajuan zaman modern berkaitan erat dengan keberadaan budaya
Melayu saat ini. Mula-mula proses modernisasi hanya berkaitan dengan bidang
teknologi, informasi dan komunikasi, namun saat ini juga merambat ke bidang lainnya
seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Semua pola kehidupan manusia
telah berubah menjadi pola modern (western),
dan tak heran jika minim sekali kita temukan remaja yang mau melestarikan
budaya Melayu saat ini, 70% dari remaja lebih tertarik dan sering menikmati
budaya modern dibandingkan budaya Melayu dan realisasi nyata yang terlihat hanya
30% yang masih ingat dan menjunjung adat Melayu, karena pola pikir dan
lingkungan mereka yang juga mendukung, tidak sama halnya dengan remaja lainnya,
khususnya yang tinggal di perkotaan.
Jika ditelaah sebenarnya budaya Melayu “terpaksa”
mengizinkan masuknya budaya modern, karena jika budaya Melayu terlalu ketat dan
tidak menerima sentuhan apapun dari budaya modern, niscaya budaya Melayu akan
dipandang sebelah mata sebagai budaya yang kuno dan tidak mengikuti
perkembangan zaman. Apalagi menurut kalangan remaja, mereka takut dan terlalu
ego untuk dikatakan ketinggalan zaman, kuno dan berfikiran sempit. Sungguh pandangan
yang benar-benar salah telah merasuki pemikiran remaja saat ini.
Gejolak modernisasi dan akulturasi budaya yang tak
sehat memang tidak dapat dihindari lagi, alhasil pudarnya budaya Melayu saat
ini sudah benar-benar terlihat dengan jelas. Masalah
ini ternyata telah dibenarkan sebelumnya oleh seorang penulis Tatang
Yudiansyah. Beliau mengemukakan bahwa kehidupan di perkotaan akan sangat mudah
terpengaruhi oleh fasilitas budaya modern yang akan mengikis budaya Melayu itu
sendiri.
Dari satu sisi, modernisasi
memberikan nilai-nilai positif karena dengan “dunia tanpa batas”, orang-orang
bisa bersaing secara sehat dan dapat menerima serta mentransfer berbagai hal
demi kemajuan dalam menjalani kehidupan. Namun disisi lain, realisasi budaya modern lebih cenderung berdampak
negatif dan bertentangan dengan nilai-nilai budaya Melayu yang religius. Fasilitas hiburan
seperti diskotik, bar, cafe, dan karaoke dan budaya asing lainnya dari segi
pakaian dan makanan yang notabenenya adalah budaya modern ala barat (western) semakin marak terjadi. Telah jelas ini
merupakan peringatan dari budaya modern kepada budaya Melayu untuk siap pada
tinggkat waspada, karena yakinlah budaya Melayu akan total berubah jika hingga
sekarang masih tidak ada upaya nyata terhadap permasalahan ini.
Pemerintah seperti membuka telapak tangan
menyambut hal demikian dan masyarakat pun sangat antusias menikmatinya.
Semuanya seakan-akan tak menyadari pahitnya keruntuhan budaya Melayu dimasa yang akan datang.
Memang benar manusia sebagai
pelaku budaya, secara lahiriyah tidak mampu lagi menghadang derasnya budaya
modern yang masuk, tetapi sampai kapan ini akan dibiarkan?. Apa sampai semua
nilai-nilai budaya Melayu berhasil terkikis oleh budaya modern?. Jika iya masih pantaskah budaya
Melayu dijadikan sebagai jati-diri bangsa seperti dulu kala?. dan jika tidak
akankah pelaku budaya menyerah begitu saja menyikapi perubahan ini?. Sebenarnya masyarakat Melayu di perkotaan masih bisa
berjuang menghambat tantangan budaya modern meskipun mereka harus merangkak
tertatih-tatih, dan perjuangan harus dimulai dini hari biarlah perlahan asalkan
sampai kapanpun budaya Melayu tetap menjadi identitas utama bagi bangsa Melayu
.
Sebenarnya tidak ada larangan bagi para
remaja untuk mempelajari dan menggunakan gaya budaya orang barat. Ajaran Islam memang
menggalakkan manusia untuk terus memajukan diri dan bukanlah menjadi kesalahan
besar jika remaja mengikuti perkembangan budaya Negara Barat selagi budaya yang
diikutinya tidak bertentangan dengan tuntutan budaya dan Islam yang suci. Tidak adil
rasanya jika orang asing saja mau mempelajari budaya kita, kenapa kita tidak?,
tetapi cobalah imbangi dengan budaya Melayu yang merupakan jati-diri bangsa, disaring
mana budaya yang sesuai dan mana yang tidak sesuai.
Banyak cara sederhana dalam
menyeimbangi budaya modern dengan budaya Melayu agar tidak lenyap di makan
waktu dan hilang di telan zaman. Saran bagi para remaja jangan lah hanya bisa
menerapkan budaya barat tapi lestarikanlah budaya Melayu agar para penerus
bangsa yang akan datang bisa mengingat dan menggunakan budaya Melayu sebagai
realita kehidupan sehari-hari. Tanamkanlah khazanah Melayu yang mengatakan
bahwa “Sejauh apapun seseorang telah mencapai sebuah kemajuan, tunjuk ajar Melayu
tetap mengarahkan supaya semua orang Melayu berpegang teguh pada nilai-nilai
agama, budaya dan norma sosial”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa jika remaja
ikut andil dalam mengembangkan budaya Melayu dan semuanya berjalan dengan baik,
maka akan baik pula akhlak remaja Melayu, namun jika tidak niscaya rusak pula akhlak
remaja Melayu tersebut. Sekarang pikirkanlah wahai remaja, sudah benarkah sikap
kamu yang lebih mengutamakan budaya barat dibandingkan budaya Melayu?.
Renungkanlah!. Pilihan mana yang akan kamu pilih “Kemajuan Budaya
Bangsamu Sendiri” atau “Kemajuan Budaya Bangsa Oranglain?.